Mahabbah berarti cinta, yaitu perasaan rindu dan senang yang istimewa terhadap sesuatu. Perasaan demikian menyebabkan perhatian seseorang terpusat kepadanya bahkan mendorong orang itu untuk memberikan yang terbaik. Perasaan cinta itu diikuti dengan ketulusan untuk mengorbankan apa saja termasuk nyawa sekalipun kepada yang dicintai.
Sebagai seorang muslim, mencintai Allah Ta'ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, Hal ini merupakan konsekuensi dari kesaksian kita akan Allah dan kerasulan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dan hendaklah Allah dan Nabi-Nya lebih dia cintai dari makhluk lainnya. Mari kita simak bersama firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah:
‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Qs. At Taubah: 24)
Ibnu
Katsir mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada
Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah
musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/124)
Ancaman
keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Allah dan Rasul dari makhluk
lainnya adalah wajib. Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya
hingga melebihi kecintaan pada Allah dan nabi-Nya.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab –radiyallahu ‘anhu-. Lalu Umar –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
“Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Tidak,
demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi
aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Kemudian ‘Umar berkata,
“Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2 - Bab Bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersumpah]
Al Bukhari membawakan dalam kitabnya: Bab Mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari iman. An Nawawi membawakan dalam Shahih Muslim: Bab-Wajibnya
Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan
pada keluarga, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya. Dalam bab tersebut, Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Salah
seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai
daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana
tidak? melalui beliau lah kita terbebas dari segudang warisan jahiliyah
yang telah mengakar begitu lama. Kalau lah tidak karena hidayah Allah,
kemudian karena pengorbanan beliau dalam mendakwahkan Islam, niscaya
sampai hari ini kita masih terjerat dalam belenggu syirik dan jahiliyah.
Semua Cinta Butuh Bukti
Cinta bukanlah hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ittiba’ (mengikuti), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah buah dari kecintaan.
Penyair Arab mengatakan:
Sekiranya cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya
Karena orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya
Karena orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya
Cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dengan melatunkan nasyid atau pun sya’ir yang indah, namun enggan mengikuti sunnah beliau. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin
seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya.
Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
ُ
Tatkala
banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk
mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Ali Imron: 31)
Seorang ulama mengatakan:
Yang terpenting bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya.
Yang
terpenting bukanlah engkau mencintai Nabimu. Namun yang terpenting
adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta nabimu. Begitu pula,
yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun yang terpenting
adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 20/2)
Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapa pun yang mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisa’: 80)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk berpegang
teguh pada ajarannya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits,
“Berpegangteguhlah
dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan
petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan
gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al
Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Tidaklah
aku biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika
meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (HR. Abu Daud no. 2970. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)
Itulah saudaraku di antara bukti seseorang mencintai nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yaitu dengan mentaati, mengikuti dan meneladani setiap ajarannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
”Katakanlah
jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, Rasul-Nya, niscaya Allah
mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 31).
Dalam
ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalau kita mengaku cinta kepada Allah,
maka kita harus mengikuti Rasulullah SAW. Yaitu mengikuti sunnah-sunnah
beliau. Tidak ada artinya sama sekali kalau seseorang mengaku-aku cinta
kepada Allah akan tetapi amalannya tidak mengikuti Rasulullah bahkan
dia beramal dengan berbagai kebid’ahan –seperti merayakan maulid Nabi)
bahkan kesyirikan dan kekufuran.
Betapa
banyak orang yang mengaku-aku cinta kepada Allah, akan tetapi Allah
tidak mencintainya. Orang-orang yahudi, nashara, orang-orang shufi,
para penyembah kuburan, para penyembah ilmu filsafat seperti JIL dan
golongan-golongan sesat dalainnya, apakah Allah mencinta mereka? Memang
kita diperintahkan untuk mencintai Allah, akan tetapi jangan sampai
hanya sekedar pengakuan belaka tanpa bukti. Bahkan yang paling penting
adalah kita harus berusaha supaya Allah mencintai kita.
Untuk
mendapatkan kecintaan Allah tentunya kita harus mengikuti Rasulullah
SAW yakni mengikuti sunnah-sunnah beliau, sebagaimana disebutkan dalam
ayat di atas.
Dan
perlu kita ketahui bahwasanya yang dimaksud sunnah adalah apa-apa yang
disandarkan kepada beliau, baik ucapan, perbuatan, taqrir/persetujuan
dan sifat beliau. Yang meliputi aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah.
Ada yang sifatnya wajib dan ada yang sunnah/mustahab.
Yang
wajib berarti harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sedangkan yang
sunnah, semaksimal mungkin dilaksanakan. Mudah-mudahan kita menjadi
orang-orang yang mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnah beliau agar
menjadi orang-orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, aamiin.
0 comments
Post a Comment